Berikut ini tulisan bagian SATU dari 3 seri artikel posting blog ini.
Negara mana paling siap menghadapi Cyber War? - arsip website
Part 1 : Cyber War Medan Tempur Dunia internet - website archives
Dikutip dari VIVAnews - Sabtu, 12 November 2011 - Muhammad Firman.
Sebuah ledakan dahsyat terdengar di pangkalan misil Alghadir di Bid Ganeh, barat Teheran. Guncangan terasa hingga 30 mil jauhnya. Ledakan itu membunuh 17 pasukan elit Iran, termasuk Mayor Jend. Hassan Tehrani Moghaddam, arsitek program misil Iran. Meski belum diinvestigasi, buru-buru Iran menegaskan bahwa ledakan itu bukan akibat sabotase. “Kasus tersebut murni kecelakaan, saat petugas tengah memindahkan amunisi. Tidak ada kaitan dengan Israel ataupun Amerika Serikat” kata Mayor Jend. Hassan Firouzabadi, kepala staf militer Iran.
Padahal dunia tahu, itulah satu contoh yang menunjukkan betapa Cyber War bukan lagi dongeng fiksi, tapi telah menjadi bagian nyata dari percaturan dunia. Cyber war telah ada di halaman depan rumah kita dan menjadi ancaman yang nyata. Inilah fakta nyata serangan terbesar Cyber War terhadap dunia Islam. Dan Iran adalah negara yang kerap menjadi sasaran serangan cyber Israel -- yang mendapat dukungan penuh AS -- khususnya terkait upaya Iran memperkaya uranium, salah satu komponen utama nuklir.
Bukti lain adalah serangan Malware Stuxnet pada instalasi pengayaan nuklir di Natanz, Iran tahun 2009. Stuxnet mampu menyusup masuk dan menyabot sistem dengan cara memperlambat atau mempercepat motor penggerak, bahkan membuatnya berputar jauh di atas kecepatan maksimum Kecepatan yang bisa menghancurkan sentrifuse sehingga tidak dapat memproduksi bahan bakar Uranium. Malware Stuxnet diakui sebagai serangan paling cerdas, paling canggih dan paling hebat yang pernah dibuat manusia. Pengakuan datang dari kalangan industri aplikasi pengamanan terkemuka dunia seperti Symantec (USA), Kaspersky (Rusia) dan F-Secure (Finlandia).
Serangan ini bisa dilakukan hanya dengan dukungan negara tertentu. Ini karena Stuxnet sangat canggih, terdiri program2 komputer kompleks yang pembuatannya memerlukan beragam spesialisasi dan dana sangat besar. Tidak banyak pihak yang mampu melancarkan serangan seperti ini. Para pakar Symantec memperkirakan pengerjaan Stuxnet membutuhkan tenaga 5 hingga 30 orang dalam waktu 6 bulan. Selain itu, dibutuhkan pengetahuan sistem kontrol industri dan akses ke sistem itu untuk pengujian kualitasnya. Ini mengindikaskan bahwa Stuxnet adalah proyek yang sangat terorganisir dan di-backup dana besar.
Liam O’Murchu, peneliti Symantec Security Response mengatakan :
Stuxnet merupakan serangan siber terarah yang ditujukan untuk menghancurkan proses industri di dunia nyata. Banyak pakar keamanan bersepakat: Israel dan Amerika Serikat terlibat dalam serangan maya itu. Dan benar saja!!!
Mei 2011, Need To Know, sebuah program mingguan stasiun TV PBS, USA, menayangkan pernyataan Gary Samore, Koordinator Gedung Putih untuk Pengendalian Senjata dan Senjata Pemusnah Massal.
“Kami gembira bahwa mereka (Iran) mengalami masalah dengan mesin sentrifuse mereka dan kami–Amerika Serikat dan sekutunya–akan melakukan apapun yang kami bisa untuk memastikan bahwa mereka akan menghadapi masalah yang lebih rumit,”
Matra ke-5 : Cyber War
Dunia Cyber kini menjadi matra perang ke-5 --selain darat, laut, udara, dan angkasa luar. Inovasi dan kemajuan teknologi elektromagnetik, teknologi komunikasi dan informasi telah mengubah taktik dalam konflik modern. Dunia maya pun menjadi medan perang terbaru. Banyak perangkat mutakhir dibuat untuk keperluan ini. Sebuah bentuk pertempuran elektronik telah tercipta dan membuat banyak negara melihat perang dunia maya sebagai ancaman terbesar dimasa depan.
Dalam laporan eksklusif harian Le Monde, jurnalis Nicky Hager berhasil menguak keberadaan instalasi Urim milik Unit 8200, Israel. yang merupakan salah satu instalasi pengintaian terbesar di dunia, setara dengan instalasi milik USA di Menwith Hill, Yorkshire, Inggris. Instalasi yang dibangun sejak satu dekade yang lalu itu awalnya hanya bertugas memonitor percakapan internasional jaringan satelit Intelsat dan stasiun relay telepon antar negara besar. Tapi kini juga bertugas mengawasi percakapan via satelit Inmarsat, juga menyadap kabel-kabel bawah laut.
Menurut sumber orang dalam, computer di instalasi Negev, Israel, diprogram untuk dapat memilah kata serta berbagai pesan telepon, email dan data yang diintersep. Pesan yang berhasil disadap dikirim ke HQ Unit 8200 di Camp Glilot, kota Herzliya, utara Tel Aviv. Di tempat ini pesan berbagai bahasa diterjemahkan dan diteruskan ke agen Mossad di negara2 lain maupun berbagai badan yang berkepentingan.
Unit 8200 ialah kekuatan elite cyber Israel yang terobsesi punya kekuatan cyber handal sejak 1990-an. Saat itu para hacker Israel cuma disodori 2 pilihan : Penjara atau bergabung ke The Unit. Hasilnya tidak main-main. Sebuah konsultan di AS memperhitungkan The Unit sebagai ancaman cyber terbesar dunia, di samping China, Rusia, Iran, dan Perancis. Stuxnet salah satu buktinya.
Angkatan Perang Cyber
Angkatan perang siber ditentukan oleh kemampuan : serangan, pertahanan dan ketergantungan negara pada Internet. Dalam buku “Cyber War” pakar keamanan komputer AS dan profesor Universitas Harvard, Richard A. Clarke dan Robert A. Knake memetakan kekuatan negara2 dalam menghadapi perang siber.

Negara yang dinilai paling mampu bertahan jika terjadi Cyber War, menurut Clarke, ialah Korea Utara. Korea Utara tidak akan mengalami kerugian akibat serangan cyber. Karena tidak ada infrastruktur kritikal - tidak ada pembangkit listrik, jalur KA atau pipa tersambung ke Internet.
Bagaimana dengan Indonesia?
M. Salahuddien, Wakil Ketua Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure known (Id-SIRTII) menyebutkan, perang siber bukan hal baru dan telah mewarnai tensi politik dalam hubungan Indonesia dengan negara lain. Indonesia mulai terlibat perang siber satu dekade lalu -- mulai dari perang siber dengan Portugal tahun 1999, Australia, hingga cyberwar dengan Malaysia beberapa tahun terakhir.
Sayangnya, menurut seorang senior kelompok peretas Antihackerlink, Arief Wicaksono, kemampuan aktivis siber Indonesia belum mumpuni. Masalahnya, daya peretas di suatu negara sangat dipengaruhi oleh kualitas infrastruktur Internet serta tarif.
Dari sisi kuantitas banyak insiden yang berasal dari Indonesia. Dari sisi kualitas, skill hacker Indonesia kurang optimal” kata Arief, kini menjadi koordinator Research and Development Antihackerlink. Menurutnya perang siber Indonesia hanya sebatas serangan defacing (mengubah tampilan desain) halaman web. Serangan ini hanya untuk mempermalukan dan tidak membahayakan. Seiring pertumbuhan Internet di Indonesia yang begitu cepat, dia percaya akan lebih banyak lagi infrastruktur strategis dan layanan publik yang semakin bergantung pada sistem informasi, teknologi dan jaringan Internet, sehingga rentan terhadap serangan siber.
Source : http://sorot.vivanews.com/news/read/265594-bahaya-perang-cyber.
Untuk informasi lebih lanjut tentang pemetaan Cyber Crime dan peta kekuatan negara-negara besar dunia dalam menghadapi Cyber War ada di BAGIAN II dan Kasus Serangan Cyber di Estonia secara Massif untuk pertamakalinya di dunia ada di BAGIAN III.